MAKALAH “PELANGGARAN HAK CIPTA”
ETIKA
DAN PROFESIONALISME TSI (SOFTSKILL)
Disusun
oleh:
1. ANGGA
PRATAMA (10111867)
2. ARIMANSYAH (11111156)
3. CHOIRUL
AMAL (11111634)
4. HARY
SUSANTO (13111256)
5. INDAH
NOVITA SARI (13111564)
6. KARTIKA
EKA PUTRI (17111830)
7. RISMA (16111280)
UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
atas limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “PELANGGARAN HAK
CIPTA” ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah memberi motivasi dan dorongan dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Depok, 21 Mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Begitu banyaknya kasus pelanggaran hak cipta yang
terjadi di Indonesia, tentunya merupakan suatu hal yang meresahkan para
pencipta suatu karya. Suatu bentuk kreativitas seseorang yang harusnya
dihargai, justru dijadikan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan bagi berbagai
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman
etnik/ suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan
pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan hak cipta terhadap
kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut. perkembangan di
bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga
memerlukan peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait
dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Melihat pemberitaan yang disampaikan oleh Vivanews
pada tanggal 1 Mei 2012 menyatakan bahwa Amerika Serikat kembali menggolongkan
Indonesia dalam daftar negara yang sangat bermasalah dalam pelanggaran hak
cipta atau kekayaan intelektual. Amerika Serikat berkepentingan dalam
penyusunan daftar ini mengingat sebagian besar ekspor mereka terkait dengan hak
cipta.
Amerika Serikat tahun ini, menggolongkan Indonesia
dalam daftar "priority watch list"
untuk pelanggaran hak cipta. Daftar negara yang paling bermasalah dengan
pelanggaran hak cipta ini tidak berakibat munculnya sanksi. Namun, sekadar
untuk membuat efek malu bagi pemerintah negara yang bersangkutan untuk lebih
giat lagi memberantas pembajakan dan pemalsuan merek dagang serta memperbaiki
penegakan hukum masing-masing di bidang perlindungan kekayaan intelektual.
Indonesia yang sebenarnya memiliki banyak
kreativitas daya cipta, memang tidak terlepas dari adanya realita bahwa memang
ada sebagian masyarakat yang memiliki mental plagiatisme.
Semakin hari, kasus pelanggaran hak cipta di
Indonesia, semakin meningkat. Kasus ini harusnya dijadikan kasus utama yang
harus segera diatasi, bukan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting.
Sebagian besar masyarakat mungkin tidak memandang hal ini sebagai suatu masalah
besar, sehingga masalah ini tidak segera diatasi dan memberikan sanksi jera
bagi orang yang melanggar hak cipta.
Atas pemikiran tersebut dan untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Etika dan Profesionalisme TSI (SoftSkill), maka penulis menyusun
makalah “Pelanggaran Hak Cipta” ini untuk memberikan pembahasan mengenai
berbagai hal yang menyangkut hak cipta, yang disertai dengan contoh kasus pelanggarannya.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang
dibahas pada makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.
Apa itu hak
cipta?
2.
Apa saja istilah
yang ada dalam hak cipta?
3.
Bagaimana
sejarah munculnya hak cipta?
4.
Apa saja dasar
hukum dari hak cipta?
5.
Apa saja sifat
dari hak cipta?
6.
Apa fungsi dari hak
cipta?
7.
Apa saja hak
yang tercakup dalam hak cipta?
8.
Apa saja
pengecualian dan batasan dari hak cipta?
9.
Sampai kapan
perlindungan terhadap hak cipta berlaku?
10. Bagaimana prosedur pendaftaran hak cipta?
11. Seperti apa upaya penegakan hukum atas hak cipta?
12. Apa saja bentuk pelanggaran hak cipta?
13. Apa sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta?
1.3
Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Etika dan Profesionalisme TSI (SoftSkill), berdasarkan
rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan yang hendak dicapai antara lain:
1.
Untuk mengetahui
definisi dari hak cipta.
2.
Untuk mengetahui
istilah-istilah yang ada dalam hak cipta.
3.
Untuk mengetahui
sejarah munculnya hak cipta.
4.
Untuk mengetahui
dasar hukum dari hak cipta.
5.
Untuk mengetahui
sifat-sifat dari hak cipta.
6.
Untuk mengetahui
fungsi dari hak cipta.
7.
Untuk mengetahui
hak-hak yang tercakup dalam hak cipta.
8.
Untuk mengetahui
pengecualian dan batasan dari hak cipta.
9.
Untuk mengetahui
jangka waktu perlindungan terhadap hak cipta.
10. Untuk mengetahui prosedur pendaftaran hak cipta.
11. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum atas hak
cipta.
12. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak
cipta.
13. Untuk mengetahui sanksi pidana atas pelanggaran hak
cipta.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Hak Cipta
Berdasarkan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, pengertian hak cipta adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa
hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya
namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya yang boleh menggunakan hak
cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang
menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh
aturan hukum.
Hak cipta merupakan hak
ekslusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak
atasnya kecuali atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara
penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan
bersifat tidak berwujud sesuai dengan penjelasan pasal 4 ayat 1 dalam
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Sifat manunggal itu pula yang menyebabkan hak
cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu berarti si pencipta
harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.
Menurut Wikipedia, hak
cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif
pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan
gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak
untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang
hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada
umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
2.2
Istilah-Istilah dalam Hak Cipta
Terdapat 3 (tiga)
istilah dalam hak cipta, yaitu:
1)
Pencipta
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara
bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan
pikiran, imajinasi, cekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2)
Pemegang Hak Cipta
Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik
hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain
yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
3)
Ciptaan
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam
bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra.
2.3
Sejarah Hak Cipta
Konsep hak cipta di
Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris
(secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan
sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg,
proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan
biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga,
kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta
perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli
tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru
ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710
dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan
penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang
menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut
setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga
mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28
tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for
the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra) pada tahun 1886 adalah yang pertama kali
mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini,
copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak
harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah
karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan
hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya
derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Pada tahun 1958,
Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar
para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa
bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut
pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad No. 600 Tahun
1912 dan menetapkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan
undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut
kemudian diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987, Undang-undang No. 12
Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yang kini
berlaku.
Perubahan undang-undang
tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada
tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan World Trade Organization - WTO
(Organisasi Perdagangan Dunia), yang mencakup pula Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs (Persetujuan tentang Aspek-aspek
Dagang Hak Kekayaan Intelektual). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk
Undang-undang No. 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi
kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga
meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty
(Perjanjian Hak Cipta WIPO) melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997.
2.4
Dasar Hukum Hak Cipta
Indonesia saat ini
telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta yaitu namanya
Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18/ 1997 dan
dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus
melindungi dari seluruh negara atau anggota Berne Convention.
Perlindungan hak cipta diatur dalam
Undang-undang No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta , kemudian diubah menjadi UU No.
7 tahun 1987, dan diubah lagi menjadi UU No. 12 1987 beserta peraturan
pelaksanaannya.
Selain UU tersebut di
atas, terdapat dasar hukum lain atas hak cipta, antara lain:
1)
Undang-undang
Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO)
2)
Undang-undang No.
10/1995 tentang Kepabeanan
3)
Undang-undang No.
12/1997 tentang Hak Cipta
4)
Undang-undang No.
14/1997 tentang Merek
5)
Keputusan
Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection
of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization
6)
Keputusan
Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
7)
Keputusan
Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection
of Literary and Artistic Works
8)
Keputusan
Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
2.5
Sifat Hak Cipta
Sifat-sifat hak cipta diatur
dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) No. 19 Tahun 2002, yaitu:
1)
Hak cipta
dianggap sebagai benda bergerak.
2)
Hak cipta dapat
beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena beberapa hal,
seperti pewarisan, hibah, wasiat,
perjanjian tulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Serta pasal 4 ayat (1) dan (2) UU yang sama, yaitu:
1)
Hak cipta yang
dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik
ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat
disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2)
Hak cipta yang
tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi
milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak
dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2.6
Fungsi Hak Cipta
Secara umum, fungsi hak
cipta diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002:
1)
Hak Cipta
merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2)
Pencipta dan/
atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer memiliki
hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan ciptaannya untuk kepentingan yang bersifat komersial.
2.7
Hak-hak yang Tercakup dalam Hak
Cipta
Hak-hak yang tercakup
dalam hak cipta meliputi:
1)
Hak Eksklusif
Beberapa hak eksklusif
yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
a)
Membuat salinan
atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (pada umumnya adalah
salinan elektronik).
b)
Mengimpor dan
mengekspor ciptaan. Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
(mengadaptasi ciptaan).
c)
Menampilkan atau
memamerkan ciptaan di depan umum.
d)
Menjual atau
mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan
"hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak
ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak
lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak
cipta.
2)
Hak Ekonomi dan
Moral
Banyak negara mengakui
adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan
Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan
bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar
ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui
sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia
juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan
hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni,
rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun
hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah
pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas
ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur
dalam pasal 24-26 Undang-undang Hak Cipta.
2.8
Pengecualian dan Batasan Hak
Cipta
Perkecualian hak cipta
dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum
tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau
fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan
ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak
Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak
melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas
dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial
termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan
ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam
hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam
menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian
ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak
dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau
pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap.
Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama
ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan
pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program
komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan
sendiri.
Selain itu,
Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan
atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi
kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang
penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai
keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan
gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan
norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum"
(pasal 17). Ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan
mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan.
Tidak ada hak cipta
atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan,
pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau
penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa. Di
Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada
dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang
Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu
kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian
pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian
dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis
lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
2.9
Jangka Waktu Perlindungan Hak
Cipta
Jangka waktu perlindungan hak cipta, yaitu:
1) Ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu, drama,
tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik terjemahan, tafsir, saduran,
berlaku selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal
dunia.
2) Ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi,
database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama
kali diumumkan.
3) Ciptaan atas karya susunan perwajahan karya tulis
yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan.
4) Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum
berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
5) Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara
berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas.
2.10
Prosedur Pendaftaran Hak Cipta
Perlindungan suatu
ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang
nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan
hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan
ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai
alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap
ciptaan tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor Hak Cipta, Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan HAM (Ditjen HKI-Depkumham).
Syarat untuk
permohonan pendataran Hak Cipta:
1)
Mengisi formulir
pendaftaran ciptaan rangkap dua.
2)
Surat permohonan
pendaftaran ciptaan yang mencantumkan nama dan kewarganegaraan yang
bersangkutan.
3)
Uraian ciptaan
rangkap dua.
Surat permohonan
pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan:
1)
Melampirkan
bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotokopi KTP.
2)
Permohonan
pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan satu Badan Hukum
dengan demikian nama-nama harus ditulissemuanya , dengan menetapkan satu alamat
pemohon.
3)
Melampirkan
contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya.
4)
Membayar biaya
permohonannya pendaftaran sebesar Rp. 75.000 (tujuh puluh lima ribu rupiah).
2.11
Penegakan Hukum atas Hak Cipta
Penegakan hukum atas
hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun
ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada
aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara
lain. Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam
hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang
dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta
rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang
merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU
19/2002 bab XIII).
2.12
Pelanggaran Hak Cipta
Suatu pelanggaran
terhadap sebuah karya ciptaan terjadi apabila:
1)
Terjadi
pengeksploitasian (pengumuman, penggandaan dan pengedaran) untuk kepentingan
komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih dahulu meminta izin atau
mendapatkan lisensi dari penciptanya/ atau ahli warisnya. Termasuk di dalamnya
tindakan penjiplakan.
2)
Peniadaan nama
pencipta pada ciptaannya.
3)
Penggantian atau
perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang dilakukan tanpa persetujuan dari
pemilik hak ciptanya.
4)
Penggantian atau
perubahan judul sebuah ciptaan tanpa persetujuan dari penciptanya atau ahli
warisnya.
Pelanggaran terhadap
suatu hasil ciptaan selain dilakukan oleh orang perorangan, dalam kenyataannya
banyak dilakukan pula oleh korporasi (corporate) atau badan hukum.
Pertanggungjawaban pidana terhadap suatu korporasi yang melakukan perbuatan
melawan hukum dengan melanggar hak cipta seseorang atau badan hukum dapat
dikenakan kepada badan hukum yang bersangkutan, dalam hal ini adalah pengurus
dari badan hukum tersebut sesuai dengan pertanggung-jawabannya menurut AD/ART
dari badan hukum tersebut.
Undang-undang Hak Cipta
juga telah menyediakan dua sarana hukum, yang dapat dipergunakan untuk menindak
pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui sarana instrumen hukum
pidana dan hukum perdata, bahkan dalam Undang-undang Hak Cipta, penyelesaian
sengketa di bidang hak cipta dapat dilakukan di luar pengadilan melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dalam pasal 66 Undang-undang
Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: “hak untuk mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, pasal 56, dan pasal 65 tidak mengurangi
hak negara untuk melakukan tuntutan terhadap pelanggaran hak cipta”.
Bentuk-bentuk
pelanggaran hak cipta:
Bentuk-bentuk
pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman,
pertanyaan, dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara
apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan
undang-undang atau melanggar perjanjian. Dilarang undang-undang artinya
undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang
yang tidak berhak, karena tiga hal, yaitu:
1)
Merugikan
pencipta,/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi sebagian atau seluruhnya
ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada masyarakat luas .
2)
Merugikan
kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan
kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan.
3)
Bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video
compact disc (VCD) porno.
Pelanggaran hak cipta
menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tanggal 15 Februari
1984 dapat dibedakan dua jenis, yaitu:
1)
Mengutip
sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah
ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri.
Perbuatan ini disebut palgiat atau penjiplakan yang dapat terjadi antara lain
pada karya cipta berupa buku, lagu, dan notasi lagu.
2)
Mengambil
ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya
tanpa mengubah bentuk isi, pencipta, dan penerbit/perekam. Perbuatan ini
disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa
buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (VCD), karena
menyangkut dengan masalah commercial
scale.
Pasal 72 UU No.19 Tahun
2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik
undang-undang yang dibagi tiga kelompok, yaitu:
1)
Dengan sengaja
dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk
itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk
mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan
negara, kesusilaan, dan ketertiban umum.
2)
Dengan sengaja
memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini
antara lain penjualan buku dan VCD bajakan.
3)
Dengan sengaja
dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program
komputer.
Ketentuan sanksi
pidana pelanggaran hak cipta:
Berdasarkan pasal 56
Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, bahwa hak untuk mengajukan gugatan
ganti rugi sebagaimana diatur dalam pasal 66 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta
No. 19 Tahun 2002, tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana
pada setiap pelanggaran hak cipta. Negara berkewajiban mengusut setiap
pelanggaran hak cipta yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kerugian yang
ditimbulkan oleh tindakan pelanggaran hak cipta, yang tidak saja diderita oleh
pemilik atau pemegang hak cipta dan hak terkait, tetapi juga oleh negara,
karena kurangnya pendapatan negara yang seharusnya bisa didapat dari pemegang
hak cipta atau hak terkait. Selain itu negara harus melindungi kepentingan
pemilik hak, agar haknya jangan sampai dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Perlindungan melalui
ketentuan-ketentuan pidana, seperti yang diatur dalam pasal 382 bis KUH Pidana
yang lazim dikenal sebagai persaingan curang (oneerlijke concurrentie). Persaingan curang merupakan perbuatan
untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu dengan maksud untuk
mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan
kepunyaan sendiri atau orang lain.
Dengan Undang-undang
Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, pengaturan mengenai ketentuan pidana telah berubah
secara mendasar. Pada Undang-undang Hak Cipta sebelumnya tidak ada ketentuan
yang mengatur tentang hukuman penjara minimum. Jika terdakwa dinyatakan
terbukti bersalah oleh pengadilan, maka terdakwa dapat dipidana penjara paling
singkat satu bulan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Di samping itu, juga terdapat kenaikan denda yang sangat tinggi dari Rp
100.000.000,- menjadi Rp 5.000.000.000,-. Kenaikan hukuman denda yang sangat
besar itu dimaksudkan agar ada efek jera bagi mereka yang melakukan
pelanggaran, karena denda Rp 100.000.000,- dianggap masih ringan oleh para pelanggar,
karena keuntungan (profit gain) yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan
denda yang dijatuhkan.
Bentuk pelanggaran hak
cipta yang pertama adalah dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan,
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan
pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak
atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan
kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (1).
Pasal 72 ayat (1)
menyebutkan, bahwa bagi yang tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat atau pidana minimum 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Bentuk pelanggaran hak
cipta yang kedua adalah dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta.
Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan.
Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 72 ayat (2).
Pasal 72 ayat (2),
kemudian menyatakan, bahwa bagi yang sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Bentuk pelanggaran hak
cipta yang ketiga adalah dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan
untuk kepentingan komersial suatu program komputer. Pelanggaran hak cipta ini
melanggar pasal 72 ayat (3).
Selanjutnya pasal 72
ayat (3), menyebutkan, bahwa bagi yang tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
BAB III
STUDI KASUS
3.1
Studi Kasus I : Pembajakan Perangkat
Lunak
Pada awal tahun 2012
lalu kita dikejutkan oleh ditutupnya salah satu situs file sharing terbesar,
yakni Megaupload. Menurut informasi yang ada, hal ini terjadi karena Megaupload
dianggap mendukung pembajakan (piracy),
karena dalam situsnya memiliki berjuta-juta data illegal yang salah satunya berupa perangkat lunak (software). Sehingga kasus ini sudah
dianggap salah satu kasus kejahatan hak cipta terbesar di dunia yang langsung
menargetkan penyalahgunaan situs penyimpanan konten dan distribusi publik untuk
melakukan kejahatan hak intelektual.
Kasus Megaupload ini
sendiri dipandang melanggar ketentuan RUU yang dikenal dengan nama SOPA (Stop
Online Piracy Act) dan PIPA (PROTECT IP Act) yang mana merupakan undang-undang
terkait hasil pembajakan serta beragam produk digital seperti film dan musik.
Dari segi hukum
Indonesia pun termasuk dalam pasal 25 UU ITE yang berbunyi: “Informasi
Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual,
situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai
Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
UU yang
dilanggar dan sanksi:
Bentuk pelanggaran hak
cipta pada kasus di atas adalah dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak
penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer. Pelanggaran hak
cipta ini melanggar pasal 72 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2002, disebutkan bahwa
bagi yang tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu
program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Solusi:
Berikut beberapa solusi
untuk menangani maraknya pelanggaran pembajakan perangkat lunak:
1)
Penggunaan
software open source yang bisa
didapatkan dengan gratis.
2)
Perlunya kesadaran
masyarakat untuk menghargai hasil karya orang lain.
3)
Masyarakat
pengguna komputer juga harus sadar kalau memakai perangkat lunak bajakan maka
kemungkinan komputernya untuk terkena virus akan lebih besar. Perangkat lunak
bajakan yang ada di internet mungkin patut dicurigai, karena mungkin saja orang
yang membajak perangkat lunak tersebut telah menyisipkan virus di perangkat
lunak bajakan yang kita download di
internet.
4)
Pemberian sanksi
yang tegas kepada para penjual perangkat lunak bajakan supaya mereka jera.
5)
Pemerintah
memberikan penyuluhan tentang pentingnya penghargaan terhadap suatu kekayaan
intelektual.
3.2
Studi Kasus II : Pembajakan Buku
dan Sejenisnya
Di Indonesia, seseorang
dengan mudah dapat memfotokopi sebuah buku, padahal dalam buku tersebut melekat
hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang
sehingga apabila kegiatan fotokopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari
pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Lain
lagi dengan kegiatan penyewaan buku di taman bacaan, masyarakat dan pengelola
taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan penyewaan buku semacam ini merupakan
bentuk pelanggaran hak cipta. Apalagi saat ini bisnis taman bacaan saat ini
tumbuh subur dibeberapa kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta
dapat dengan mudah ditemukan taman bacaan yang menyediakan berbagai terbitan
untuk disewakan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kedua contoh tersebut
merupakan contoh kecil dari praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan
oleh masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka
lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Padahal jika praktek
seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan
enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa
dirugikan baik secara moril maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan
memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya
penegakan hak cipta dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Indonesia. Kita tentu
pernah mendengar gelar kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir
karya orang lain.
Mendarah dagingnya
kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai lembaga
pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran
hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan
teladan dalam hal penghormatan terhadap hak cipta. Contoh konkritnya adalah
perpustakaan, lembaga ini sebenarnya rentan akan pelanggaran hak cipta apabila
tidak paham mengenai konsep hak cipta itu sendiri. Plagiasi, digitalisasi
koleksi dan layanan fotokopi merupakan topik-topik yang bersinggungan di hak
cipta. Akan tetapi selain rentan dengan pelanggaran hak cipta justru lembaga
ini dapat dijadikan sebagai media sosialisasi hak cipta sehingga dapat
menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta di Indonesia.
Perpustakaan menghimpun
dan melayankan berbagai bentuk karya yang dilindungi hak ciptanya. Buku,
jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta, foto, tugas akhir, gambar adalah sebagai
format koleksi perpustakaan yang didalamnya melekat hak cipta. Dengan demikian
maka perpustakaan sebenarnya sangat erat hubungannya dengan hak cipta.
Bagaimana, tidak di dalam berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan melekat
hak cipta yang perlu dihormati dan dijaga oleh perpustakaan. Jika tidak
berhati-hati atau memiliki rambu-rambu yang jelas dalam pelayanan perpustakaan
justru perpustakaan dapat menyuburkan praktek pelanggaran hak cipta.
Untuk itu dalam
melayankan berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan, maka perpustakaan perlu
berhati-hati agar layanan yang diberikannya kepada masyarakat bukan merupakan
salah satu bentuk praktek pelanggaran hak cipta. Dan idealnya perpustakaan
dapat dijadikan sebagai teladan dalam penegakan hak cipta dan sosialisasi
tentang hak cipta.
Layanan fotokopi,
digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi karya tulis merupakan isu serta
layanan perpustakaan yang terkait dengan hak cipta. Perpustakaan perlu
memberikan pembatasan yang jelas mengenai layanan fotokopi sehingga layanan ini
tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta. Dalam kegiatan
digitalisasi koleksi, perpustakaan juga perlu berhati-hati agar kegiatan yang
dilakukan tidak melanggar hak cipta pengarang. Selain itu perpustakaan juga
perlu menangani plagiasi karya tulis dengan berbagai strategi jitu dan bukan
dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga tidak dapat diakses oleh
pengguna perpustakaan.
UU yang
dilanggar dan sanksi:
Bentuk pelanggaran hak
cipta pada kasus di atas adalah dengan sengaja mengumumkan atau memperbanyak ciptaan
pencipta atau pemegang hak cipta dan tanpa izin menyewakan ciptaan tersebut
untuk kepentingan yang bersifat komersial. Pelanggaran hak cipta ini melanggar
pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002, disebutkan bahwa bagi mereka
yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar hak cipta orang lain dapat
dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah), sesuai dengan ketentuan pidana pasal 72 ayat (1) UU yang sama.
Solusi:
Berikut beberapa solusi
untuk menangani maraknya pelanggaran pembajakan buku dan sejenisnya:
1)
Perlunya kesadaran
masyarakat untuk menghargai hasil karya orang lain.
2)
Pemberian sanksi
yang tegas kepada pihak-pihak yang terlibat supaya mereka jera.
3)
Pemerintah
memberikan penyuluhan tentang pentingnya penghargaan terhadap suatu kekayaan
intelektual.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi
arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas
izin penciptanya.
Pengaturan mengenai hak cipta dimuat dalam
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 yang bertujuan untuk merealisasi amanah Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dalam rangka pembangunan di bidang hukum,
dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptaanya.
Berbicara mengenai hak cipta, tentunya tidak
terlepas mengenai pelanggaran hak cipta. Suatu pelanggaran terhadap sebuah karya
ciptaan terjadi apabila:
1) Terjadi
pengeksploitasian (pengumuman, penggandaan dan pengedaran) untuk kepentingan
komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih dahulu meminta izin atau mendapatkan
Lisensi dari penciptanya/ atau ahli warisnya. Termasuk di dalamnya tindakan
penjiplakan.
1)Peniadaan
nama pencipta pada ciptaannya.
2) Penggantian
atau perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang dilakukan tanpa persetujuan
dari pemilik hak ciptanya.
3) Penggantian
atau perubahan judul sebuah ciptaan tanpa persetujuan dari penciptanya atau
ahli warisnya.
Dengan mengamati kedua kasus yang kami bahas dalam
makalah ini, dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini masih sangat marak terjadi
kasus pelanggaran hak cipta, khususnya di Indonesia. Kedua kasus tersebut
merupakan sebagian kecil dari kasus pelanggaran hak cipta yang ada, masih
banyak kasus-kasus pelanggaran hak cipta lainnya yang tidak kami bahas dalam
makalah ini karena batasan yang ada. Dari pembahasan kasus yang telah kami
jelaskan, dapat dilihat bahwa pelanggaran-pelanggaran hak cipta terjadi karena 3
(tiga) faktor utama, yaitu masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat
terhadap ketentuan hak cipta yang telah diberlakukan, belum tegasnya penerapan sanksi
terhadap para pelaku yang terlibat untuk memberikan efek jera, serta kurangnya
sosialisasi atau penyuluhan pemerintah tentang pentingnya penghargaan terhadap
suatu kekayaan intelektual kepada masyarakat.
4.2
Saran
Adapun saran yang dapat
kami sampaikan mengenai kasus pelanggaran hak cipta antara lain:
1)
Pemerintah harus
memberikan sosialisasi kepada semua masyarakat untuk menghargai hasil karya
cipta seseorang.
2)
Pemerintah harus
bertindak tegas untuk menghukum pelaku yang terlibat dalam kasus pelanggaran
hak cipta di Indonesia.
3)
Pemerintah
mengharuskan setiap pencipta suatu karya untuk segera mendaftarkan karya
ciptaannya, agar tidak terjadi plagiatisme atau pembajakan terhadap hasil
karyanya.
4)
Pemerintah
mempermudah pencipta suatu karya untuk mendaftarkan karya ciptaannya, melalui
prosedur-prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit.
5)
Setiap
masyarakat ikut berpartisipasi menerapkan peraturan mengenai hak cipta yang
berlaku.
6)
Setiap
masyarakat, khususnya konsumen atau pengguna suatu karya, harusnya membeli
karya cipta orang yang orisinil, bukan membeli barang-barang atau produk
bajakan.
7)
Setiap
masyarakat yang melihat adanya tindakan berupa pembajakan atau plagiatisme
terhadap suatu karya, sebaiknya melapor kepada aparat yang berwajib untuk
segera menangani kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Tamotsu Hozumi. 2006. Asian Copyright Handbook (Buku Panduan Hak Cipta Asia Versi Indonesia).
Jakarta : IKAPI.
Rachmadi Usman,
S.H.2003. Hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia). Bandung :
PT.Alumni.
Mulyatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka
Cipta.
Situs
Internet
URL: http://www.kemenkumham.go.id/attachments/article/156/uu19_tahun%202002.pdf,
19 Mei 2015.
URL: http://www.dgip.go.id/hak-cipta/referensi-hukum-cipta,
20 Mei 2015.
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta,
20 Mei 2015.
URL: http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/perundangan/2006/08/25/hak-cipta-ok.pdf,
19 Mei 2015.
URL: http://hakintelektual.com/hak-cipta/prosedur-pendaftaran-ciptaan/,
19 Mei 2015.
URL: http://hakintelektual.com/hak-cipta/masa-berlaku-hak-cipta/,
20 Mei 2015.
URL: http://dunia.vivanews.com/news/read/309208-as--ri-masuk-daftar-pelanggaran-hak-cipta,
19 Mei 2015.
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24918/3/Chapter%20II.pdf,
19 Mei 2015.
URL: http://pusdiklat.kemenperin.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=167&Itemid=353,
20 Mei 2015.
URL: http://eprints.undip.ac.id/17575/1/UNING_KUSUMA_HIDAYAH.pdf,
19 Mei 2015.
URL: http://www.bsa.org/country/News%20and%20Events/News%20Archives/global/05152012-idc-globalpiracystudy.aspx,
20 Mei 2015.
URL: http://portal.bsa.org/globalpiracy2011/downloads/study_pdf/2011_BSA_Piracy_Study-Standard.pdf,
19 Mei 2015.
URL: http://www.ikapi.org/entertainment/entertainment-news/movies/1554-jangan-takut-menghadapi-mafia-pembajakan-buku.html,
20 Mei 2015.
URL: http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=2864,
20 Mei 2015.