Selasa, 17 Maret 2015

Kode Etik Jaksa

Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini . Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas. Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.     
Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia, terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, antara lain:
  1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab, dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
  2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
  3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
  4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
  5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Sumber URL: http://ayusulaeman.blogspot.com/2014/04/etika-profesi-jaksa.html

Cara Penilaian Baik dan Buruk

Berikut adalah cara penilaian baik dan buruk menurut ajaran agama, adat istiadat, kebahagiaan, bisikan hati, evolusi, utilitarisme, marxisme, eudaemonisme, pragmatisme, dan komunisme.
  1. Menurut Ajaran Agama
Menurut paham ini, perbuatan baik menurut agama adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.
  1. Menurut Adat Istiadat
Adat istiadat masing-masing masyarakat tertentu memiliki suatu batasan-batasan tersendiri tentang hal-hal yang harus diikuti dan yang harus dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat satu belum tentu demikian menurut masyarakat yang lain. Mereka akan mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang mereka anggap baik dan melarang melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan mereka.
  1. Menurut Kebahagiaan
Terdapat paham yang mendeskripsikan cara penilaian baik dan buruk menurut kebahagiaan ini, yaitu “Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut pandang dari paham ini, yaitu (1) egostik hedonism (hedonisme individualistic) yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) rationalistic hedonism (hedonisme rasional) yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.
  1. Menurut Bisikan Hati
Terdapat paham yang mendeskripsikan cara penilaian baik dan buruk menurut bisikan hati ini, yaitu “kekuatan batin yang dapat mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu”. Paham ini merupakan bantahan terhadap paham hedonism (kebahagiaan). Tujuan utama dari aliran ini adalah keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai “kebaikan budi pekerti”.
  1. Menurut Evolusi
Paham ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (secara berangsur-angsur) mengalami perubahan yaitu berkembang menuju ke arah kesempurnaan. Dengan mengadopsi teori Darwin (ingat konsep selection of nature, struggle for life, dan survival for the fittest), Alexander mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan segala yang ada di alam ini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar-nilai) dipandang sebagai buruk.
  1. Menurut Utilitarisme
Paham ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat terburuknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan masyarakat. Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
  1. Menurut Marxisme
Cara penilaian baik dan buruk menurut marxisme ini didasarkan pada Dialectical Materialisme, yaitu segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Paham ini memegang motto “segala jalan dapat dibenarkan asalkan saja jalan tersebut ditempuh untuk mencapai suatu tujuan”. Jadi, apapun dapat dipandang baik asalkan dapat menyampaikan/menghantar kepada tujuan.
  1. Menurut Eudaemonisme
Prinsip pokok paham ini adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan empat hal, yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauaan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah.
  1. Menurut Pragmatisme
Paham ini menitik-beratkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri, baik yang bersifat moral maupun material. Yang menjadi titik beratnya adalah pengalaman, oleh karena itu penganut paham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.
  1. Menurut Komunisme
Menurut paham ini, komunis mempropagandakan bahwa manusia pasti akan menang melawan langit. Komunis mengekang sifat hakiki manusia yang baik dan jujur, sebaliknya mereka menghasut, membiarkan, dan memanfaatkan sifat jahat manusia untuk memperkuat kekuasaannya. Komunis secara sistematik telah merusak hampir semua pengertian umum tentang moral yang ada di alam semesta ini.

Sumber URL:
http://amutiara.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/10043/pengertian+etika.doc
http://gressellahutasoit.blogspot.com/2012/03/penilaian-baik-dan-buruk.html

Review Pasal-pasal UU ITE Tentang Etika dan Profesi

Berdasarkan informasi yang ada di tautan ini, saya berpendapat bahwa pasal-pasal UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang berkaitan dengan etika dan profesi terdapat pada Bab VII yang mengatur tentang “perbuatan yang dilarang”. Bab VII ini mencakup pasal 27 yang terdiri dari empat ayat, pasal 28 yang terdiri dari dua ayat, pasal 29, pasal 30 yang terdiri dari tiga ayat, pasal 31 yang terdiri dari empat ayat, pasal 32 yang terdiri dari tiga ayat, pasal 33, pasal 34 yang terdiri dari dua ayat, pasal 35, pasal 36, dan pasal 37. Alasannya, masing-masing pasal ini menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, seperti dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, muatan pemerasan dan/atau pengancaman, dan lain sebagainya. Tentu saja, perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh UU ITE ini sangat berkaitan dengan etika yang dapat melibatkan setiap orang, apapun profesinya.